LAPORAN
PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN HIRSCHPRUNG
Konsep Dasar Penyakit
1.
Definisi
Dikenalkan pertama kali oleh
Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding
usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Penyakit
Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase
usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan
berat lahir kurang dari 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. (
Arief Mansjoeer, 2000 ).
Penyakit Hisprung disebut
juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan
usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena
ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai
persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan
fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Penyakit Hirschprung
adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus( Mansjoer,2000).
Penyakit hirschprung merupakan
keadaan abnormalitas sel ganglion pada mukosa dan myenteric plexus di usus
besar. Hal ini terjadi sebagai akibat
abnormalitas migrasi dan perkembangan sel ganglion. Penyakit ini terjadi pada 1
dari 5000 kelahiran biasanya pada anak dengan down syndrome sehingga terdapat
intestinal pseudo obstruction karena adanya segemen dari usus besar yang tidak
dapat bergerak secara normal.(Miguel Reyes,2004).
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun
pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang
disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada
evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang
tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon.
Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik
serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
2.
Epidemiologi
Insidensi penyakit tersebut adalah di Amerika
Serikat kira-kira terjadi pada 1 diantara 5400 – 7200 bayi baru lahir
(neonatus). Secara internasional, frekuensi yang jelas belum diketahui,
meskipun studi internasional melaporkan angka kira-kira 1 kasus per 1500 bayi
baru lahir hingga 1 kasus per 7000 bayi baru lahir.2PH tidak berbeda
berdasarkan ras, terjadi lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan,
dengan rasio kira-kira 4:1. Namun demikian, pada penyakit segmen panjang, insidennya
meningkat pada perempuan.
Data tentang penyakit hirschprung di
Indonesia belum ada. Bila benar insidennya adalah 1 diantara 5400 kelahiran,
maka dengan penduduk 200 juta dan dengan tingkat kelahiran 35 permil,
diperkirakan akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirchprung setiap tahun di
Indonesia.
Saat ini, kira-kira 80 % - 90 %
pasien Hirschprung terdiagnosa selama periode neonatal. Namun demikian,
sebagian pasien Hirschprung baru muncul gejalanya pada periode bayi atau pra
sekolah, beberapa diantaranya baru terdiagnosa pada masa anak bahkan
beberapa pada masa dewasa. Adalah sangat berguna melakukan pendekatan klinis
terhadap pasien berkenaan dengan waktu presentasi penyakit oleh karena
penanganannya bervariasi pada setiap periode.
Neonatus yang menunjukkan
gejala-gejala obstruksi usus berupa : mekonium terlambat keluar, distensi
abdomen, keluar muntah hijau harus dicurigai adanya PH. Neonatus cukup bulan
yang normal mampu mengeluarkan mekonium sebelum usia 24 jam (94%), sedangkan
94% pasien dengan PH tidak bisa mengeluarkan mekonium sampai lebih
dari 24 jam. Riwayat keluarga penting karena
risiko berkembangnya PH berdasarkan hubungan keluarga adalah 1% - 5% untuk
penyakit segmen pendek dan 9% - 33% untuk penyakit
segmen panjang. PH genetic terjadi pada 4% - 8% pasien.
Penelitian Hariastawa dan
Poerwadi di RSU Dr. Soetomo Surabaya hanya menemukan prosentase yang kecil
penderita hirschprung
masa neonatus bila dibandingkan literature (0,07%), diduga sebabnya adalah
kesulitan dalam proses penegakan diagnostic hirschprung di usia
neonatus.Penderita hirschprung
bisa mengalami berbagai komplikasi, antara lain berupa kelemahan yang nyata
dikarenakan tidak bisa dan tidak mau memakan sesuatu, muntah-muntah disertai
status hipovolemi, dan enterokolitis akut, yang dapat berlanjut menjadi
megakolon toksik dan kematian. hirschprung perlu
penanganan yang serius sejak dari saat penegakan diagnosisnya.
Bayi baru lahir dengan hirschprung 20%
diantaranya mempunyai satu atau lebih kelainan bawaan yang berkaitan dengan
neurology, kardiovaskular, urologi, atau sistem gastrointestinal lain. PH
sering ditemukan bersamaan dengan pada kelainan-kelainan yang berkaitan dengan
down syndrome, neruocrstopathy syndrome, waardenburg-Shah syndrome, Yemenite
deaf-blind syndrome, Piebaldism syndrome, Goldberg-shprintzen syndrome,
multiple endocrine neoplasia tipe ii, dan congenital central hypoventilation
syndrome.
Aganlionic megacolon pada
neonatus yang tidak dirawat dengan baik kemungkinan mengakibatkan angka
mortalitas hingga 80%. Angka mortalitas operatif dengan
prosedur interventional sangat rendah. Bahkan pada kasus PH yang ditangani
sejak neonatus, angka mortalitasnya 30% sama halnya dengan penyakit
enterocolitis yang lain.Komplikasi pembedahan yang sering dijumpai adalah
anastomotic leak (5%), anastomotic stricture (5 – 10%), obstruksi usus (5%),
abses pelvic (5%) serta infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang meliputi
gejala obstruksi ongoing, inkontinensi, dan enterocolitis. Pasien yang
berkaitan dengan penyakit syndrome diatas mempunyai outcome yang lebih buruk (Pediatric
Surgical Associates,1990).
3.
Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter melalui
mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan
segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang
dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung
ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai berikut:
1. Sindroma Down
2. Sindroma
Neurocristopathy
3. Sindroma
Waardenburg-Shah
4. Sindroma
buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma
Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia
endokrin multiple tipe II
8. Sindroma
hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair
hypoplasia
10. Sindroma
hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse)
11. Penyakit
Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung dinding usus dan
menghancurkan pleksus.
Penyakit
Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ; adanya
obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena inflammasi;
toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan
gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi
ini tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus.
4.
Patofisiologi
Adanya kegagalan sel-sel “neural crest” embrional yang
bermigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mensenterikus dan
submukosa untuk berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus. Pada
dasarnya, etiologi secara pasti tidak diketahui, kemungkinan adanya faktor
familial/ genetik. Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada
persarafan usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di atasnya.
Persyarafan motorik spinkter ani
interna yang mengatur proses defekasi berasal dari
serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan
serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus
levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi
spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi
otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis).
Kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis). Dibawah ini gambar tentang inervasi region perineum
pada laki- laki.
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri :
- Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
- Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penyakit hichsprung syaraf
yang berguna untuk membuat usus bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada
sama sekali atau kalaupun ada sedikit sekali. Ketiadaan ganglion ini disebabkan
karena adanya kegagalan sel-sel neural crest (bakal sel ganglion) embrional
yang bermigrasi ke dalam lubang usus atau kegagalan fleksus mesentrikus dan sub
mukosa untuk berkembang ke arah cranicaudal di dalam dinding usus yang
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya
evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi,
mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar sehingga terjadi mega kolon. Adanya
obstruksi dan dilatasi bagian proksimal dari Kolon akibat akumulasi feses bisa
menyebabkan distensi abdomen.( Price,
S & Wilson, 1995 : 141 ).
5.
Klasifikasi
Pada
pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, sel ganglion Auerbach
danMeissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot hipertofik.
Aganglionosis ini mulai dari anus ke arah oral.Menurut Ngastiyah (1997)
berdasarkan panjang segmen yang terkena, Penyakit Hirschsprung dapat di
klasifikasikan dalam 4 kategori :
a.
Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%)
Segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
Segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
b.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%)
daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
c. Total colonic
aganglionosis (3-12%). Bila segmen aganglionik
mengenai seluruh kolon (5-11%)
d.
Kolon Aganglionik
Universal.Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).
6.
Manifestasi Klinis
Masa neonatal
- Tidak dapat mengeluarkan meconium (feses pertama)
dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir.
- Muntah berisi empedu
- Enggan minum
- Distensi abdomen
- Konstipasi ringan
entrokolitis dengan diare
- Demam.
- Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur
merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans,
terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah
Periode Bayi
Periode bayi terlihat kegagalan tumbuh kembang,
konstipasi, distensi abdomen, diare, dan vomitus. Padaumumnya, diare ditemukan
pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang berumur kurangdari 3 bulan. Selain
itu, perlu diwaspadai ancaman enterokolitis yang merupakan komplikasiserius
bagi penderita penyakit hirschsprung yang dapat menyerang pada usia kapan
saja,tetapi paling tinggi saat usia 2 sampai 4 minggu. Gejalanya berupa diare
yang menyerupai air dan menyemprot, keadaan umum yang buruk, distensi abdomen,
feses berbau busuk dan demam.
Periode anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang
menonjol adalah konstipasi kronis, gizi buruk (failure to thrive), dan distensi
abdomen. Beberapa mengalami konstipasi menetap,sehingga terjadi perubahan pada
pola makan yaitu perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan
padat. Selain itu, terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika
dilakukan pemeriksaan colok dubur dengan memasukkan jari pemeriksa kerektum,
maka sphincter ani teraba hipertonus, rektum biasanya kosong, dan feses akan
keluar menyemprot dengan konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari,
dan biasanya sulit untuk defekasi.
Pada dewasa
a. Konstipasi
b.
Anemia, karena darah hilang dalam
feses.
7.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
fisik dilakukan pada daerah-daerah yang mungkin memperlihatkan manifestasi
klinis penyakit melalui inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi) dan
data-data yang mungkin ditemukan antara lain:
a. Inspeksi :
- Klien tampak muntah
- Perut kembung
- Kurus (malabsorbsi)
- Susah minum
- Anoreksia
- Pada daerah mata dapat
ditemukan kondisi anemis (+/+)
- Klien tampak meringis kesakitan
karena nyeri (pada anak dan bayi dapat menangis)
- Bibir tampak kering
- Jika terjadi dehidrasi berat,
anak atau bayi menangis tanpa mengeluarkan air mata
- Adanya keterlambatan
pertumbuhan
- Tinja tampak seperti pita dan
berbau busuk
- Diare
b. Auskultasi
- Gerak peristaltik cenderung menurun ( < 5-35 x/mnt) karena
konstipasi.
- Bila diare, cenderung meningkat
(lebih dari 5-35 x/mnt)
c. Perkusi
- Pada daerah kolorektal
(inguinal sinister) terdengar suara redup karena terjadi penumpukkan
feses)
d. Palpasi :
·
Terasa
nyeri saat ditekan pada bagian inguinal sinister karena ada penumpukan feses
·
Distensi
abdomen
·
Demam
- Turgor kulit kering
- Kolon teraba
- Adanya massa difekal.
8.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan dengan barium enema, pemeriksaan ini dapat ditemukan :
1. Daerah transisi
2. Gambaran kontraksi usus yang tidak
teratur di bagian usus yang menyempit
3. Entrokolitis pada segmen yang
melebar
4. Terdapat retensi barium setelah 24
– 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17)
b. Biopsi isap yaitu mengambil mukosa
dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub
mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
c. Biopsi otot rectum yaitu
pengambilan lapisan otot rektum
d.
Pemeriksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biopsi isap pada penyakit ini khas
terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase (Darmawan K, 2004 :
17 ).
e.
Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus. ( Betz, cecily dan Sowden, 2002 : 197 )
f.
Pemeriksaan colok anus
Pada
pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
g. Pemeriksaan elektrolit, albumin,
urinalisis dan fungsi tiroid.
h. Rontgen perut (menunjukkan
pelebaran usus besar yang terisi oleh gas dan tinja)
i. Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter
anus dengan cara mengembangkan balon di dalam rektum). Memasukkan balon kecil dengan
kedalaman yang berbeda-beda ke dalam rectum dan kolon. Study manometri pada
megakolon congenital memberikan hasil sebagai berikut:
- Dalam segmen dilatasi terdapat
hiperaktifitas dengan aktifitas propulsive yang normal.
- Dalam segmen aganglionik tidak
terdapat gelombang peristaltik yang
terkoordinasi, motilitas normal digantikan oleh konstraksi yang tidak
terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda.
- Reflek inhibisi antara rectum
dan spingter ani tidak berkembang reflek relaksasi spingter ani interna
setelah distensi rectum tidak terjadi bahkan terdapat kontraksi spastik
dan relaksasi spontan tak pernah terjadi.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
serta terapi yang dapat diberikan antara lain:
- Medis
Penatalaksaan
operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk
membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga
normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua
tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
- Temporary
ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik
untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya
usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
- Pembedahan
koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat
berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan
setelah operasi pertama. ( Betz
Cecily dan Sowden
2002 : 98 ). Ada
beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel,
Boley dan Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling
sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian
akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah. ( Darmawan K 2004 : 37 )
- Perawatan
Perawatan tergantung pada umur anak dan tipe
pelaksanaanya,
bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan :
- Membantu orang tua untuk
mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
- Membantu perkembangan ikatan
antara orang tua dan anak
- Mempersiapkan orang tua akan
adanya intervensi medis (
pembedahan )
- Mendampingi orang tua pada
perawatan colostomy setelah rencana pulang (FKUI, 2000 : 1135)
Pada
perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan
mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya
meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema.
Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein
serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT ).
Selain
hal tersebut di atas, menurut sumber lain, juga dapat dilakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut:
- Tindakan pertama pada neonates
Dibuat
kolostomi sementara pada bagian usus yang sudah mengandung ganglion; biasanya
dibuat sigmoidostomi one loop, yaitu anus dan ujung paling proksimal dari
bagian usus yang aganglioner dijahit rapat / ditutup kemudian bagian sigmoid
yang mengandung ganglion ini dimuarakan pada kulit.
- Tindakan definitive
Adalah
membuang bagian yang aganglioner, tapi tetap mempertahankan anus.Adapun bermacam-macam
teknik operasi antara lain:
a. Metode
Swenson
Dibuang
bagian yang aganglioner dan bagian sisa di rektum dibalikkan keluar, kemudian
bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar anus dan dilakukan anastomosis
di luar. Setelah selesai kembali didorong ke dalam. Cara ini disebut juga
metode pull through Swenson. Operasi ini memerlukan waktu lama dan dapat
dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Sekarang
ternyata banyak anak laki-laki yang menjalani opersi dengan teknik ini
mengalami impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf yang menuju genital,
terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis
tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di dalam; ini berarti bagian yang
ditinggalkan itu harus lebih panjang untuk memungkinkan penjahitan yang berarti
pula bahwa ada bagian aganglioner yang ditinggalkan. Menurut Rehbein walaupun
cara ini tidak sehebat Swenson tapi cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul kelainan impotensi, akan tetapi cara ini mudah
terjadi residif.
c. Metode
Duhamel
Bagian yang
aganglioner tidak dibuang, hanya pada bagian proksimal dari bagian ini dijahit.
Bagian yang hipertrofi dibuang sampai pada bagian yang berdiameter normal dan
ini kemudian ditarik ke arah anal disambungkan tepat di atas muskulus sfingter
ani eksternus pada sisi belakang dari rektum. Jadi dilakukan colo rectostomy
end to side, dengan ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian
yang aganglioner tidak dipakai. Menurut metode Duhamel ini, saraf-saraf yang
melekat pada prostat tidak diganggu gugat, trauma operasi kecil sehingga dapat
dilakukan pada bayi-bayi usia 8-9 bulan, bahkan ada yang berani pada bayi usia
4 bulan. Malah pada bayi-bayi yang datang terlambat, misalnya telah berusia 3-4
bulan dapat langsung dikerjakan metode Duhamel tanpa mengadakan kolostomi
dahulu.
d. Metode
Soave
Prosedur ini
sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah
pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut
3. Terapi medikamentosa
Digunakan
antibiotik yang potensial yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri seperti
bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob. Sebaiknya sebelum
menentukan jenis antibiotik yang dipilih dilakukan kultur sensitivitas sehingga
terapi yang diberikan efektif.
o Ampicilin inj 25mg / kg BB 4 x 1
untuk membunuh bakteri gram positif
o Gentamicin inj 2,5mg / kg BB 3 x 1
untuk membunuh bakteri gram negative
o Metronidazole inj 7,5mg / kg BB 4 x
1 untuk membunuh bakteri anaerob
4. Terapi non medikamentosa
·
Diet
: sebelum operasi pasien dinjurkan untuk puasa, setelah dilakukan operasi dan
fungsi usus dapat bekerja optimal dapat diberikan ASI atau susu formula melalui
NGT, dan untuk beberapa pasien dapat diberikan diet tinggi serat seperti buah
dan sayuran.
·
Selama
6 minggu pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitas agar luka operasi dapat
sembuh baik.
10.
Prognosis
·
Kira
1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi permanent
untuk memperbaiki inkontinensia.
·
Umumnya,
lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan
penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan
dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran
cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian Pre
operasi
a. Pada neonatus ada riwayat mekonium
tidak keluar lebih dari 2 hari dan gejala obstruksi intestinal setelah hari
kedua (distensi abdominal, makan dan minum berkurang, muntah).
b. Pada anak konstipasi dengan
distensi perut , kegagalan pertumbuhan, muntah, dan diare interminten.
Konstipasi sering disusul dengan diare eksplosif atau bahkan enterokolitis.
c. Pemeriksaan rectal didapatkan
saluran anak dan rekti yang kecil.
d. Pada pemeriksaan radiologis
didapatkan foto polos abdomen usus mengalami distensi dan adanya udara di
rectum.
e. Pemeriksaan colon in loop tampak
zona transisi.
Pengkajian Post operasi
a.
Keadaan luka sekitar kolostomy atau area setelah pembedahan.
b.
Anak tampak rewel karena nyeri
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Diagnosa pre
operasi
- Konstipasi berhubungan dengan penyakit
hirschisprung ditandai dengan nyeri abdomen, anoreksia, distensi abdomen,
feses keras dan berbentuk pita, tekanan abdomen meningkat, pada neonatus
mekonium tidak keluar lebih dari 48 jam.
- Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
ditandai dengan bayi rewel, distensi abdomen, nyeri abdomen.
- Ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam memasukan makanan
karena faktor biologi (anoreksia) ditandai dengan anak enggan minum ASI
atau susu formula, distensi abdomen.
- Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan melalui rute normal (muntah).
- Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
(rencana operasi) ditandai dengan mengekspresikan kekhawatiran, gelisah,
ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak spesifik.
- Pola napas tidak efektif berhubungan dengan desakan
diafragma keatas ditandai dengan sesak napas, napas cuping hidung,
retraksi otot pernapasan.
- Resiko pertumbuhan tidak proposional berhubungan
dengan malnutrisi.
- Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan
primer tubuh tidak adekuat (gangguan peristaltik).
Diagnosa Post Operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
ditandai dengan klien mengeluh nyeri, skala nyeri 5, tampak menangis dan
rewel.
- Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan ekskresi feces yang mengiritasi luka colostomy
- Risiko infeksi berhubungan dengan gangguan
pertahanan tubuh primer
- Risiko disfungsi motilitas gastrointestinal
berhubungan dengan pembedahan abdomen
3. Rencana
Asuhan Keperawatan
Pre Operasi
1. Konstipasi berhubungan dengan
penyakit hirschisprung ditandai dengan nyeri abdomen, anoreksia, distensi abdomen,
feses keras dan berbentuk pita, tekanan abdomen meningkat, pada neonatus
mekonium tidak keluar lebih dari 48 jam.
Setelah
diberikan asuhan keperawatan ..x24 jam diharapkan konstipasi dapat diatasi
dengan criteria hasil NOC label (bowel elimination) :
- Tidak terdapat distensi abdomen
- Bising usus dalam batas normal 5-12 kali/menit
Intervensi NIC label (bowel
management):
1.
Monitor BAB klien, termasuk
frekuensi BAB, konsistensi feses, jumlah/volume feses, dan warna feses secara
tepat.
Rasional: Mengetahui
keadaan BAB klien
2.
Monitor bising usus klien.
Rasional:
Bunyi usus kurang dari rentang normal menunjukkan klien kemungkinan mengalami
konstipasi,
3.
Berikan barium enema dengan
cairan fisiologis NaCL 0,9 % sesuai dengan medikasi yang diresepkan.
Rasional:
Meningkatkan kemampuan klien untuk BAB.
4. Kolaborasi dengan dokter untuk
tindakan definitif pembuatan ostomi atau pembedahan
Rasional : mengatasi penyebab.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
ditandai dengan bayi rewel, distensi abdomen, nyeri abdomen.Setelah
diberikan asuhan keperawatan ..x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan
criteria hasil NOC label (pain level):
- Bayi tampak lebih tenang
- Distensi abdomen berkurang
Intervensi NIC
label (pain management):
- Monitor
tanda tanda vital klien.
Rasional : Mengetahui keadaan klien sebagai dasar
penentuan intervensi selanjutnya.
2.
Lakukan pemsangan NGT sesuai
dengan kolaborasi dokter
Rasional: mengurangi distensi abdomen.
3.
Kolaborasi dengan dokter pemberikan
analgetik sesuai program
Rasional: Analgesik membantu mengatasi nyeri yang
dialami klien.
3. Ketidak seimbangan nutrisi : kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam memasukan makanan
karena faktor biologi (anoreksia) ditandai dengan anak enggan minum ASI atau susu
formula, distensi abdomen.
Setelah
diberikan asuhan keperawatan ..x24 jam diharapkan ketidakseimbangan nutrisi
dapat diatasi dengan criteria hasil NOC label (Nutrition status: nutrition
intake):
- Intake nutrisi pasien
adekuat
Intervensi label NIC label (Nurtition Management):
- Kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain untuk nutrisi persiapan operasi untuk parenteral nutrition
therapy tinggi kalori, tinggi protein , rendah serat
Rasional: Mencukupi
kebutuhan nutrisi menjelang operasi tanpa memperberat kerja usus.
4. Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional (rencana operasi) ditandai dengan mengekspresikan kekhawatiran,
gelisah, ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak spesifik.
Setelah diberikan asuhan keperawatan ..x24 jam
diharapkan ansietas dapat diatasi dengan criteria hasil NOC label (Anxiety
level):
- Keluarga klien tampak tenang
- Keluarga klien mengatakan
dapat menerima keaadaan klien
Intervensi NIC
label (Anxiety Control):
- Observasi tanda verbal serta
non verbal dari kecemasan
Rasional:
untuk mengetahui kecemasan
- Gunakan pendekatan yang
menenangkan
Rasional: untuk mebuat klien lebih tenang
- Dorong keluarga pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan persepsi
Rasional: untuk mengetahui tingkat kecemasan klien
- Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan
hal – hal yang ingin diketahui sehubungan dengan prosedur tindakan
Rasional:
kecemasan klien dapat berkurang dengan mengetahui tentang tindakan
- Jelaskan semua prosedur yang
akan dilaksanakan termasuk sensasi yang akan dirasakan selama prosedur
berlangsung.
Rasional:
mengurangi kecemasan keluarga terhadap prosedur tindakan.
Post Operasi
1. Risiko infeksi berhubungan dengan
gangguan pertahanan tubuh primer
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan …x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil NOC
label (infection control):
·
Tidak
terdapat peningkatan nilai leukosit
·
Suhu
tubuh dalam batas normal 36,5-37,5 derajat celcius
·
Warna
stoma atau daerah pembedahan merah muda tanpa eksudat purulen dan tidak berbau.
Intervensi keperawatan (wound
care):
·
Kaji
area sekitar luka dan kebutuhan wound dressing yang diperlukan
Rasional : mengetahui management
luka yang diperllukan
·
Lakukan
perawatan luka sesuai kebutuhan
Rasional : mencegah masuknya kuman
ke area port the entry
2. Risiko disfungsi motilitas
gastrointestinal berhubungan dengan pembedahan abdomen
Setelah diberikan asuhan
keperawatan..x24jam diharapkan motilitas gastrointestinal pasien normal dengan
kriteria hasil NOC label (bowel elimination):
·
Kaji
bising usus dan kolaborasi pemberian medikasi yang diresepkan
Rasional : Mengevaluasi terapi
definitif
DAFTAR
PUSTAKA
Betz,
Cecily dan Sowden. 2002. Buku Saku
Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC
Carpenito
– moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Darmawan, K. 2004. Penyakit Hirschsprung.
Jakarta : sagung
Doenges, Marilyn E, dkk.1999.Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.
Joana.2006.
Nursing Intervention Classification. 2006:
Mosby
Joana.2006.
Nursing Outcome Classification. 2006:
Mosby
Kartono
D. 1993. Penyakit Hirschprung perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel
modifikasi. Fkui: Jakarta
Kuzemko,
Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III,
EGC, Jakarta.
Lyke,
Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi ketiga. Jilid pertama. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Miguel
Reyes .About Hirshprung
.2004http://www.pedisurg.com/pteduc/hirschprung's_disease.htm diakses pada 13
April 2011
NANDA
International. 2012. Diagnosis
Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
Ngastiyah,
1997, Perawatan Anak Sakit, EGC:Jakarta.
Price
and Wilson.1995. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Rudolf,
M. 2000. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC
Seto. Nelson, W.
2000. Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC
Staf Pengajar
Ilmu Kesehatan Anak FKUI 2000 . Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta :
Infomedika Jakaarta.
Suryadi dan
Yuliani, R. 2001. Asuhan
Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV.
Sagung Seto
Untuk pathway/WOC
Silahkan kirim email ke aditanaya24@gmail.com
Silahkan kirim email ke aditanaya24@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar